Sabtu, 01 Januari 2011

Transplantasi Organ Tubuh

Oleh : Lulu Dwi Cayani

A. Pendahuluan

Transplantasi jaringan mulai dipikirkan oleh dunia sejak 4000 tahun silam menurut manuscrip yang ditemukan di Mesir yang memuat uraian mengenai eksperimen transplantasi jaringan yang pertama kali dilakukan di Mesir sekitar 2000 tahun sebelum diutusnya Nabi Isa as. Sedang di India beberapa puluh tahun sebelum lahirnya Nabi Isa as. seorang ahli bedah bangsa Hindu telah berhasil memperbaiki hidung seorang tahanan yang cacat akibat siksaan, dengan cara mentransplantasikan sebagian kulit dan jaringan lemak yang diambil dari lengannya. Pengalaman inilah yang merangsang Gaspare Tagliacosi, seorang ahli bedah Itali, pada tahun 1597M untuk mencoba memperbaiki cacat hidung seseorang dengan menggunakan kulit milik kawannya.

Pada ujung abad ke-19 M para ahli bedah, baru berhasil mentransplantasikan jaringan, namun sejak penemuan John Murphy pada tahun 1897 yang berhasil menyambung pembuluh darah pada binatang percobaan, barulah terbuka pintu percobaan mentransplantasikan organ dari manusia ke manusia lain. Percobaan yang telah dilakukan terhadap binatang akhirnya berhasil, meskipun ia menghabiskan waktu cukup lama yaitu satu setengah abad. Pada tahun 1954 M Dr. J.E. Murray berhasil mentransplantasikan ginjal kepada seorang anak yang berasal dari saudara kembarnya yang membawa perkembangan pesat dan lebih maju dalam bidang transplantasi.

Meskipun pencangkokan organ tubuh belum dikenal oleh dunia saat itu, namun operasi plastik yang menggunakan organ buatan atau palsu sudah dikenal di masa Nabi saw., sebagaimana yang diriwayatkan Imam Abu Daud dan Tirmidzi dari 2
Abdurrahman bin Tharfah (Sunan Abu Dawud, hadits. no.4232) “bahwa kakeknya
‘Arfajah bin As’ad pernah terpotong hidungnya pada perang Kulab, lalu ia memasang
hidung (palsu) dari logam perak, namun hidung tersebut mulai membau (membusuk),

maka Nabi saw. menyuruhnya untuk memasang hidung (palsu) dari logam emas”. Imam Ibnu Sa’ad dalam Thabaqatnya (III/58) juga telah meriwayatkan dari Waqid bin Abi Yaser bahwa ‘Utsman (bin ‘Affan) pernah memasang mahkota gigi dari
emas, supaya giginya lebih kuat (tahan lama).

Seiring dengan perkembangan metode pencangkokan tubuh tersebut muncul beberapa pertanyaan yang mempertanyakan apakah transplantasi itu boleh dilakukan. Apakah transplantasi itu diperbolehkan dalam Islam, apakah transplantasi diperbolehkan jika si pendonor masih dalam keadaan hidup, dan beberapa pertanyaan lainnya lagi.
B. Pokok Bahasan

Transplantasi menurut Dr. Robert Woworuntu dalam bukunya Kamus Kedokteran dan Kesehatan (1993:327) berarti : Pencangkokan. Dalam Kamus Kedokteran DORLAND dijelaskan bahwa transplantasi berasal daritransplantation [trans-+ L.plantare menanam] berarti : penanaman jaringan yang diambil dari tubuh yang sama atau dari individu lain. Adapun transplant berarti : 1). mentransfer jaringan dari satu bagian ke bagian lain. 2). organ atau jaringan yang diambil dari badan untuk ditanam ke daerah lain pada badan yang sama atau ke individu lain. Jadi, menurut terminologi kedokterantransplantasiberarti; “suatu proses pemindahan atau pencangkokan jaringan atau organ tubuh dari suatu atau seorang individu ke tempat
yang lain pada individu itu atau ke tubuh individu lain”. Dalam dunia kedokteran
jaringan atau organ tubuh yang dipindah disebutgraft atautransplant; pemberi
transplant disebut donor; penerima transplant disebutkost atauresipien.



oleh DR. Quraisy Syihab bahwa; “Prinsipnya, maslahat orang yang hidup lebih didahulukan.” selain itu KH. Ali Yafie juga menguatkan bahwa ada kaedah ushul fiqh yang dapat dijadikan penguat pembolehan transplantasi yaitu “hurmatul hayyi a’dhamu min hurmatil mayyiti” (kehormatan orang hidup lebih besar keharusan
pemeliharaannya daripada yang mati.)

Lebih rinci, masalah transplantasi dalam kajian hukum syariah Islam diuraikan menjadi dua bagian besar pembahasan yaitu : Pertama : Penanaman jaringan/organ tubuh yang diambil dari tubuh yang sama. Kedua : Penanaman jaringan/organ yang diambil dari individu lain yang dirinci lagi menjadi dua persoalan yaitu: A). Penanaman jaringan/organ yang diambil dari individu orang lain baik yang masih hidup maupun sudah mati, dan B). Penanaman jaringan/organ yang diambil dari individu binatang baik yang tidak najis/halal maupun yang najis/haram.

Masalah pertama yaitu seperti praktek transplantasi kulit dari suatu bagian tubuh ke bagian lain dari tubuhnya yang terbakar atau dalam kasus transplantasi penyumbatan dan penyempitan pembuluh darah jantung dengan mengambil pembuluh darah pada bagian kaki. Masalah ini hukumnya adalah boleh berdasarkan analogi (qiyas) diperbolehkannya seseorang untuk memotong bagian tubuhnya yang membahayakan keselamatan jiwanya karena suatu sebab. (Dr. Al-Ghossal dalam
Naql wa Zar’ul A’dha (Transplantasi Organ) : 16-20, Dr. As-Shofi, Gharsul A’dha :
126 ).

Adapun masalah kedua yaitu penanaman jaringan/organ yang diambil dari orang lain maka dapat kita lihat persoalannya apabila jaringan/organ tersebut diambil dari orang lain yang masih hidup, maka dapat kita temukan dua kasus.

Kasus Pertama : Penanaman jaringan/organ tunggal yang dapat mengakibatkan kematian donaturnya bila diambil. Seperti, jantung, hati dan otak. Maka hukumnya adalah tidak boleh yaitu berdasarkan firman Allah Swt dalam al-Qur’an surat Al 6
Baqarah:195, An-Nisa’:29, dan Al-Maidah:2 tentang larangan menyiksa ataupun
membinasakan diri sendiri serta bersekongkol dalam pelanggaran.

Kasus kedua : Penanaman jaringan/organ yang diambil dari orang lain yang masih hidup yang tidak mengakibatkan kematiannya seperti, organ tubuh ganda diantaranya ginjal atau kulit atau dapat juga dikategorikan disini praktek donor darah. Pada dasarnya masalah ini diperbolehkan selama memenuhi persyaratannya yaitu:

1. Tidak membahayakan kelangsungan hidup yang wajar bagi donatur jaringan/organ. Karena kaidah hukum islam menyatakan bahwa suatu bahaya tidak
boleh
dihilangkan
dengan
resiko
mendatangkan
bahaya
serupa/sebanding.
2. Hal itu harus dilakukan oleh donatur dengan sukarela tanpa paksaan dan tidak
boleh diperjual belikan

3. Boleh dilakukan bila memang benar-benar transplantasi sebagai alternatif peluang satu-satunya bagi penyembuhan penyakit pasien dan benar-benar darurat. 4.Boleh dilakukan bila peluang keberhasilan transplantasi tersebut sangat besar. (Lihat: Mudzakarah Lembaga Fiqh Islam Rabithah Alam Islami, edisi Januari 1985 M.)

Namun demikian, ada pengecualian dari semua kasus transplantasi yang diperbolehkan yaitu tidak dibolehkan transplantasi buah zakar meskipun organ ini ganda karena beberapa alasan diantaranya: dapat merusak fisik luar manusia, mengakibatkan terputusnya keturunan bagi donatur yang masih hidup dan transplantasi ini tidak dinilai darurat, serta dapat mengacaukan garis keturunan. Sebab menurut ahli kedokteran, organ ini punya pengaruh dalam menurunkan sifat genetis. (Ensiklopedi Kedokteran Modern, edisi bahasa Arab III/ 583, Dr. Albairum, Ensiklopedi Kedokteran Arab, hal 134.)



Al-Azhar vol. 7 edisi Romadhon1403), DR. Yusuf Qordhowi (Fatawa Mu’ashiroh II/530 ), DR. Ahmad Syarofuddin ( hal. 128 ), DR. Rouf Syalabi ( harian Syarq Ausath, edisi 3725, Rabu 8/2/1989 ), DR. Abd. Jalil Syalabi (harian Syarq Ausath edisi 3725, 8/2/1989M.), DR. Mahmud As-Sarthowi (Zar’ul A’dho, Yordania), DR. Hasyim Jamil (majalah Risalah Islamiyah, edisi 212 hal. 69).

Alasan mereka membolehkannya berdasarkan pada; a. ayat al-Qur’an yang membolehkan mengkonsumsi barang-barang haram dalam kondisi benar-benar darurat. (QS. Al-Baqarah:173, Al-Maidah:3, Al-An’am:119,145, b. anjuran al-Qur’an untuk merawat dan meningkatkan kehidupan (QS. Al-Maidah: 32.c. ayat-ayat tentang keringanan dan kemudahan dalam Islam (QS.2:185, 4:28, 5:6, 22:78), d. hal itu sebagai amal jariyah bagi donatur yang telah mati dan sangat berguna bagi kemanusiaan. e. Allah sangat menghargai dan memuji orang-orang yang berlaku
‘itsaar’ tanpa pamrih dan dengan tidak sengaja membahayakan dirinya atau
membinasakannya.(QS. 95:9) f. Kaedah-kaedah umum hukum Islam yang
mengharuskan dihilangkannya segala bahaya.
Masalah penanaman jaringan/organ yang diambil dari tubuh binatang , maka dapat
kita lihat dua kasus yaitu;

Kasus Pertama: Binatang tersebut tidak najis/halal, seperti binatang ternak (sapi, kerbau, kambing ). Dalam hal ini tidak ada larangan bahkan diperbolehkan dan termasuk dalam kategori obat yang mana kita diperintahkan Nabi untuk mencarinya bagi yang sakit.

Kasus Kedua : Binatang tersebut najis/ haram seperti, babi atau bangkai binatang dikarenakan mati tanpa disembelih secara islami terlebih dahulu. Dalam hal ini tidak dibolehkan kecuali dalam kondisi yang benar-benar gawat darurat. dan tidak ada
pilihan lain. Dalam sebuah riwayat atsar disebutkan: “Berobatlah wahai hamba-
hamba Allah, namun janganlah berobat dengan barang haram.” Dalam kaedah fiqh


Adapun dari segi Donor juga harus diperhatikan berbagai pertimbangan skala prioritas yaitu: 1). menanam jaringan/organ imitasi buatan bila memungkinkan secara medis. 2). Mengambil jaringan/organ dari tubuh orang yang sama selama memungkinkan karena dapat tumbuh kembali seperti, kulit dan lainnya. 3). Mengambil dari organ/jaringan binatang yang halal, adapun binatang lainnya dalam kondisi gawat darurat dan tidak ditemukan yang halal. 4). Mengambil dari tubuh orang yang mati dengan ketentuan seperti penjelasan di atas. 5). Mengambil dari tubuh orang yang masih hidup dengan ketentuan seperti diatas disamping orang tersebut adalah mukallaf ( baligh dan berakal ) harus berdasarkan kesadaran, pengertian, suka rela dan tanpa paksaan.
Disamping itu donor harus sehat mental dan jasmani yang tidak mengidap
penyakit menular serta tidak boleh dijadikan komoditas.

DAFTAR PUSTAKA
Mahfuz Zuhdi. 1990.Masailul Fiqiyah. Jakarta
Sejarah Transplantasi dan Hukum Donor Jaringan Tubuh menurut Islam,
(http://buyung30.wordpress.com/2009/02/27/sejarah-transplantasi-dan-hukum-
donor-jaringan-tubuh-menurut-islam.html), diperoleh tanggal 10 Desember 2009.
Pencangkokan Organ Tubuh– seputar masalah pencangkokan organ tubuh,
(http://ahmadchem.blogspot.com/2009/09/pencangkokan-organ-tubuh.html),
diperoleh tanggal 10 Desember 2009